Praktik Zakat di Zaman Rasulullah

Tak hanya sekedar kewajiban bagi umat muslim, zakat juga merupakan salah satu solusi bagi permasalahan ekonomi di dunia khususnya di Indonesia. Hal itu terbukti sejak zaman Rasulullah, dengan penggalian dan pengelolaan zakat secara optimal, perekonomian di dalam negara menjadi stabil. Sepeninggalnya Rasulullah SAW, para sahabat seperti Abu Bakar bin Siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib terus melakukan manajemen zakat.

Bahkan ketika para sahabat telah tiada. Manajamen zakat semakin membaik. Sehingga, sejarah kegemilangan zakat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah pun dapat terdengar sampai sekarang. Bagaimana tidak? Di masa pemerintahannya selama 30 bulan, tidak ditemukan lagi masyarakat miskin yang berhak menerima zakat, karena semua muzakki mengeluarkan zakat, dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, melainkan juga produktif.

Pada zaman Rasulullah SAW, tepatnya di tahap awal hijrah di Madinah, zakat belum dijalankan. Pada tahun pertama di Madinah itu, Nabi dan para sahabatnya beserta segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Mekah ke Madinah) masih dihadapkan kepada bagaimana menjalankan usaha penghidupan di tempat baru tersebut. Hal ini dikarenakan, selain memang tidak semua di antara mereka orang yang berkecukupan, kecuali Usman bin Affan, semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki juga ditinggal di Mekah.

Saat kondisi kaum Muslimin sudah mulai tenteram, tepatnya pada tahun kedua Hijriyah, barulah kewajiban zakat diberlakukan. Rasulullah SAW langsung mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadli di Yaman, Rasul pun memberikan nasihat kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli kitab beberapa hal, termasuk menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan “sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda mereka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka,” sebagai kepala negara saat itu, ucapan Rasul langsung ditaati oleh seluruh umat muslim tanpa ada perlawanan.

Harta benda yang dizakati di zaman Rasulullah SAW yakni, binatang ternak seperti kambing, sapi, unta, kemudian barang berharga seperti emas dan perak, selanjutnya tumbuh-tumbuhan seperti syair (jelai), gandum, anggur kering (kismis), serta kurma. Namun kemudian, berkembang jenisnya sejalan dengan sifat perkembangan pada harta atau sifat penerimaan untuk diperkembangkan pada harta itu sendiri, yang dinamakan “illat”. Berdasarkan “Illat” itulah ditetapkan hukum zakat.

Maka dari itu pada masa Nabi Muhammad SAW tidak diwajibkan zakat pada kuda, karena kuda hanya diperlukan untuk peperangan. Sebaliknya pada masa Khalifah Umar bin Khattab dikenakan zakat atas kuda, karena kuda sudah diperkembangkan melalui peternakan. Demikian juga pada masa Nabi hingga masa thabi’in tak ada zakat pada rumah, karena rumah hanya untuk tempat kediaman.

Prinsip zakat yang diajarkan Rasulullah SAW adalah mengajarkan berbagi dan kepedulian, oleh sebab itu zakat harus mampu menumbuhkan rasa empati serta saling mendukung terhadap sesama muslim. Dengan kata lain, zakat harus mampu mengubah kehidupan masyarakat, khususnya umat muslim. (Dompet Dhuafa/Uyang/berbagai sumber)