(Rendahnya) Harga Diri Bangsa

Tiga hari lalu, atau mungkin hingga hari ini, sebagian besar di antara kita merasa geram, jengkel, atau bahkan marah karena tulisan provokatif mantan Menteri Penerangan Malaysia, Zainudin Maidin yang berjudul ‘Persamaan BJ Habibie dan Anwar Ibrahim’ di salah satu media terkemuka negeri jiran, Utusan Malaysia.


Tulisan yang mulanya diunggah dalam blog pribadinya ini menimbulkan gejolak di dalam negeri dan berpotensi memanaskan hubungan antara Indonesia-Malaysia karena Zainudin dianggap telah “menghina” mantan orang nomor satu di negeri ini, Bapak BJ Habibie. Presiden RI ketiga yang kita hormati ini dicap oleh Zainudin sebagai penghianat bangsa dan “dog of imperialism”.

Sebenarnya, bukan kali ini saja negeri serumpun itu “melecehkan” harkat dan martabat bangsa Indonesia. Kasus pencaplokan pulau, penganiayaan Tenaga Kerja Wanita dan klaim sepihak atas budaya Indonesia adalah contoh kecil bagaimana cara Malaysia memperlakukan kita.

Namun, kali ini saya tidak bermaksud memanas-manasi atau memprovokasi agar membenci dan bermusuhan dengan tetangga kita itu. Kita memang pantas emosi dan marah, tapi energi kita akan terbuang percuma jika kita marah secara membabi buta dan tidak produktif. Apa yang dilakukan oleh Bapak BJ Habibie dalam menyikapi “hinaan” ini adalah contoh bagaimana seharusnya bangsa ini bersikap. BJ Habibie: Kalau ada yang menghina Anda, anggap aja sebagai sebuah pujian, bahwa dia berjam-jam memikirkan Anda, sedangkan Anda tidak sedetik pun memikirkan dia,”@habibiecenter.

Saya berpikir, mengapa Malaysia bisa sampai berkali-kali “merendahkan” harga diri bangsa ini. Jangan-jangan memang bangsa ini yang ingin “direndahkan” oleh bangsa lain. Bagaimana tidak, kita tengok saja beranda negeri ini di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kesenjangan ekonomi antara wilayah yang berada di belakang tapal batas dengan yang di seberang nampak sangat tinggi. Infrastruktur sangat buruk, jalanan masih berlumpur, listrik belum tersambung, rumah pun reyot hendak roboh. Mungkin dalam benak orang Malaysia mereka berkata, “Indonesia itu memang negeri yang miskin dan terbelakang.”

Lebih dari itu, coba kita tengok, berapa banyak bisnis anak bangsa yang merambah ke Malaysia. Bandingkan dengan Proton, Petronas dan sederet merek bisnis lainnya yang membanjiri negeri ini. Bandingkan pula berapa banyak tenaga kerja kita yang dikirim ke Malaysia, yang berpendidikan rendah dan bekerja di sektor informal dengan tenaga-tenaga professional yang menempati posisi strategis.

Sekali lagi, mungkin saja orang-orang Malaysia itu memang menganggap kita “rendahan”.

Lantas, apakah kita hanya bisa emosi dengan merusak, melempari kedutaan Malaysia di Jakarta, dan membakar bendera mereka sebagai pelampiasan amarah? Apakah kita akan terus menerus “memikirkan” mereka dengan amarah kita tanpa melakukan sesuatu yang produktif dan bermanfaat.

Seandainya saja, Pemerintah kita mau menaruh perhatian lebih dan concern dengan daerah-daerah perbatasan itu yang masih sangat miskin dan terbelakang, mungkin orang Malaysia tidak akan berani “melecehkan” bangsa ini. Jika saja pemerintah serius menyediakan lapangan pekerjaan, manyediakan pendidikan murah dan berkualitas bagi anak-anak negeri ini, dan mampu menghadirkan sejahtera bagi seluruh bangsa, saya yakin Malaysia tidak akan berani “merendahkan” kita.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu bait lagu yang dipopulerkan grup musik Koes Plus dan dipuisikan oleh Salman, salah tokoh dalam film “Tanah Surga …. Katanya” yang menceritakan bagaiamana kehidupan di pedalaman Kalimantan yang merupakan perbatasan Indonesia-Malaysia.

“Orang bilang tanah kita tanah surga…Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….Katanya… Tapi kata kakekku, belum semua rakyatnya sejahtera…Banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri….”