Saat Gereja Belajar Pengelolaan Dana Sosial Ke Dompet Dhuafa

ANGELES CITY, FILIPINA — Di bangunan dengan arsitektur kuno, puluhan orang dari komunitas gereja Katolik di Angeles City, Papanga, Filipina, mengikuti diskusi tentang pengelolaan zakat dengan perwakilan Dompet Dhuafa. Dipimpin oleh Uskup Pablo Virgilio S. David, para suster, pendeta, layanan sosial gereja, dan aktivis filantropi gereja setempat antusias mengikutinya. Diskusi ini merupakan salah satu rangkaian aktivitas dari penerima Ramon Magsaysay Award 2016.

Tujuannya adalah berbagi pengalaman dan saling belajar bagaimana mengelola dana keagamaan untuk memberdayakan masyarakat dan membantu orang miskin. “Apa yang kita (Dompet Dhuafa dan Gereja Katolik) lakukan sebenarnya sama. Kami sangat tertarik bagaimana Dompet Dhuafa dapat mengoptimalkan dana sumbangan yang mereka himpun,” ujar pria yang akrab dipanggil Bishop (Uskup) Ambo ini, di Keuskupan Agung Apung Mamacalulu, Angeles City, Filipina, Senin (29/8).

Dalam paparannya, Ketua Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Ismail A. Said, menjelaskan bagaimana strategi Dompet Dhuafa menghimpun dan mendayagunakan dana sosial keagamaan. Menurutnya, keberhasilan Dompet Dhuafa selama ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat tinggi. “Untuk itu, kami harus menjaga kepercayan publik dengan beragam strategi,” ujarnya.

Ismail mencontohkan bagaimana setiap bulan para donatur menerima laporan dana yang mereka setorkan. Para donatur juga mendapatkan info-info program yang dijalankan Dompet Dhuafa mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, hingga agama. “Kami juga mengajak donatur untuk mengunjungi program-program kami di lapangan. Sehingga mereka yakin untuk apa dana yang mereka sumbangkan,” jelasnya.

Sementara itu, Presiden Direktur Dompet Dhuafa Filantropi 2013-2016, Ahmad Juwaini yang ikut serta menjadi narasumber, menjelaskan kunci sukses Dompet Dhuafa menjalankan organisasi. Beberapa di antaranya adalah manajemen yang profesional, program yang inovatif, transparansi dan akuntabilitas publik, adaptif terhadap teknologi, komunikasi, dan dedikasi. “Kami, misalnya, mengadopsi sistem dan manajemen perbankan. Kami memudahkan para donatur untuk menyalurkan donasinya melalui berbagai cara seperti internet banking, sms banking, mobile banking, atau hanya dengan menggesek kartu debit atau kredit,” tutur Ahmad.

Peserta diskusi juga sangat tertarik dengan program-program Dompet Dhuafa yang lebih banyak pemberdayaan daripada karitas. Nina L.B Tomen, peneliti dan penulis tentang peninggalan budaya gereja misalnya, menanyakan bagaimana tantangan yang dihadapi Dompet Dhuafa dalam memandirikan penerima manfaatnya. “Bagaimana mengubah pola pikir masyarakat miskin yang menerima zakat menjadi orang berada yang membayar zakat. Sementara Pendeta Fer David, Ketua Komite VDLR Papanga tertarik bagaimana Dompet Dhuafa mengelola operasional sehari-hari, termasuk gaji staff dan relawan.

“Dalam ketentuan syariah, kami hanya diperkenankan untuk mengambil operasional, sudah termasuk di dalamnya gaji karyawan, maksimal 12,5 %,” tukas Ismail. (Dompet Dhuafa/Amir KBK)