Saatnya Membuka Mata Hati

Semilir angin Gunung Sindur menusuk tulang rusuk. Sahutan ayam berkokok menyambut saat sang fajar menyingsing. Kokok ayam pertanda Subuh datang, Naming (73) harus bangun menuruni tangga panggung gubuknya. Dengan terbungkuk dan merayap-rayap, ia menelusuri lahan kosong yang gelap gulita untuk mempersiapkan salat Subuh bagi jamaah masjid Al-Amien.

Sejak empat tahun lalu, kakek yang hidup sebatang kara ini menjalani profesi sebagai marbot masjid yang tidak jauh dari gubuknya. Pekerjaan marbot dijalaninya setiap hari sebagai amanah dari masyarakat. Apalagi, hanya segelintir orang yang mau menjalani pekerjaan mulia ini.

Untuk sebuah pengabdiannya, Naming hanya mendapatkan upah lelah setahun sekali, menjelang lebaran Idul Fitri. Itu pun hasil dari mengumpulkan zaka fitrah pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM).

Kendati demikian, Naming merasa tetap berkewajiban mengurus masjid. “Masjid kan Rumah Allah, Engkong kudu ngurus,jawab Naming sembari tersenyum.

Naming yang hidup sebatang kara ini menumpang di lahan kosong di Kampung Cidokom, Desa Cidokom, Kecamatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Lahan tersebut merupakan milik seseorang yang tinggal di Bekasi. Namun, sang pemilik lahan sudah hampir tiga tahun belum pernah melihat asetnya tersebut.

Bagaimanapun, lahan tersebut tetap Naming pelihara dengan penuh tanggung jawab. Sebagai penjaga kebun, ia lakoni layaknya tanah sendiri sehingga tampak terawat.

Untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, Naming menggantungkan hidupnya dari hasil tani yang ia tanam semampunya. Ia pun kerap tidak memiliki uang sepeser pun. Bila sudah sangat terpaksa untuk mengganjal perut yang keroncongan karena lilitan lapar, ia memetik cabe dari beberapa pohon yang tumbuh di depan gubuknya.

Lantas setelah itu, dengan gontai ia berjalan ke warung nasi di pinggir jalan untuk ditukar dengan sebungkus nasi plus sepotong tempe. “Alhamdulillah yang punya warung udeh ngerti ama Engkong,” ujarnya.

Sepuluh tahun lalu, Naming membangun gubuk hasil jerih payahnya sebagai kuli bangunan. Meski sudah dibantu warga, tetap saja tempat tinggalnya seperti layaknya kandang kambing. Bagaimana tidak, selain hanya cukup untuk berbaring, gubuknya pun penuh dengan tambalan dan balutan plastik dari spanduk sisa-sisa kampanye yang sudah usang dan berseliwuran dipinggir jalan raya.

Kanan-kiri dan atap gubuknya bolong-bolong menganga. Jika musim kemarau tiba, tubuhnya yang berbalut kulit hitam legam ini pun harus terpanggang matahari, sedangkan musim penghujan tubuhnya yang mungil pun semakin keriput karena basah kuyup. Hanya selembar kain sarung lusuh yang dengan setia melingkar di lehernya.

Di Yogyakarta, perjuangan kerasnya hidup terekam dalam kisah Budi Suroso (52). Budi adalah seorang penyandang tunanetra. Karena keterbatasan yang dimiliki membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan. Ia hanya mengandalkan keahlian memijatnya untuk bertahan hidup.

Bersama sang istri, Istina Suprihatin (41) yang juga penyandang tunatera dan kedua anak, Budi tinggal di ruang milik sebuah yayasan tunanetra berukuran 2 meter x 3 meter. Di ruang kecil tersebut, Budi dan istri membuka usaha pijat.

Penghasilan yang didapat Budi tak seberapa. Kalau sudah begitu, pengeluaran harus diperketat. Itu pun jika mereka kedatangan pengunjung untuk memakai jasa pijatnya. Itulah matematika kehidupan yang dilakoni keluarga penyandang tunanetra ini untuk bisa terus bertahan dan menjalankan kehidupan di Kota Gudeg itu.

Saat ini, Budi sedang sakit karena tumor di leher belakangnya yang kian membesar. Tumor itu sudah muncul sejak enam tahun yang lalu. Dua tahun terakhir ini semakin membesar dan dirasakan mengganggu aktivitasnya. “Saya sering gampang pusing dan lama-lama pusingnya terasa berat banget,” ujar Budi lirih.

Terbayang di benak Budi, bagaimana ia harus berobat untuk menyembuhkan penyakit yang diderita. Jangankan untuk datang sekedar berobat, biaya untuk membeli obat dirasakannya sangat mahal. Terlebih ketika ia harus berobat rawat inap, semakin menjadi beban pikiran baginya.

***

Sosok Naming dan Budi di atas bisa jadi “bertebaran” di sekitar hidup kita. Bisa jadi mereka adalah tetangga-tetangga kita. Atau bahkan bisa jadi mereka masih keluarga dan kerabat dekat kita. Meski tak berbicara dan meminta langsung, mereka jelas butuh bantuan kita.

Ya, kita seakan menutup mata akan fakta tersebut. Kita rajin beribadah untuk diri sendiri seperti salat, puasa, berhaji. Namun kita terkadang alpa dan kurang antusias dalam menjalankan ibadah sosial seperti zakat, sedekah, wakaf, dll.

Padahal, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadis besabda, ”Seseorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari). Hadis ini mengajarkan kepada kita sebagai seorang makhluk sosial untuk peduli terhadap sesama.

Terlebih, Islam merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk bersama-sama membangun tatanan masyarakat yang harmoni di muka bumi. Risalahnya tidak hanya sekedar ritual, tetapi mencakup kepedulian terhadap permasalahan sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan. Islam tidak hanya tentang ibadah pribadi, ia juga tentang ibadah sosial.   

Karenanya, di bulan suci Ramadhan ini, momen tepat bagi kita untuk membuka mata hati. Membuka mata hati, melihat diri sendiri dan mementingkan orang lain dan lingkungan sebagai momentum untuk membersihkan dan mengendalikan diri. Ramadhan menjadi titik balik meningkatkan kepedulian.

Namun demikian, semangat membuka mata hati tidak boleh berhenti di bulan Ramadhan. Ia harus senantiasa menggelora kapanpun. Harapannya, ia semakin kuat dan menyebar luas. Sebab, apakah kita sampai hati meminta mereka, kaum dhuafa, menahan rasa lapar dan sakit hingga Ramadhan berikutnya? (gie)