Selamatkan Balita dan Anak-anak Indonesia dari Bahaya Gizi Buruk

Pangkal utama permasalahan gizi buruk di Indonesia  tak lain adalah karena masalah kemiskinan. Memasuki awal tahun 2016, pemberitaan terkait kasus Gizi Buruk cukup marak di beberapa media.

Seperti informasi yang dilansir Republika.co.id beberapa waktu lalu,  Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) sampai November 2015 telah menemukan sebanyak 443 balita kasus Gizi Buruk di 13 kabupaten dan kota. Sementara itu berdasarkan data Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) Dinkes Sulteng pada 2013 sebanyak 442 balita mengalami kasus Gizi Buruk dan tahun 2014 berkurang menjadi 390 balita.

Miris rasanya mendengar kasus gizi buruk masih marak terjadi di beberapa daerah di Tanah Air. Umumnya, kasus gizi buruk memang menimpa pada balita yang hidup dalam garis kemiskinan. Asupan nutrisi yang tidak terpenuhi para balita tersebut, menyebabkan para balita malang ini kurang gizi, hingga menyebabkan busung lapar. Betapa banyaknya bayi dan anak-anak yang sudah bergulat dengan kelaparan dan penderitaan sejak mereka dilahirkan.

Mengapa kemiskinan menjadi faktor utama dalam permasalahan gizi buruk?

Menurut para pengamat ekonomi dan beberapa ahli gizi di Tanah Air, kemiskinan dan kurangnya pemahaman orangtua terhadap gizi dan pertumbuhan anak menjadi penyebab utama permasalahan gizi buruk masih bertahan di negeri ini. Kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyediakan makanan bergizi bagi anaknya menjadi penyebab utama meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia, kemiskinan memicu kasus Gizi Buruk.

Bila kasus Gizi Buruk ini terus berlanjut, tentu saja dikhawatirkan akan semakin memperburuk pertumbuhan fisik dan fungsi-fungsi otak. Jika sampai hal tersebut terjadi, sudah dipastikan banyak balita dan anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa terancam masa depannya.

Mengingat, besarnya permasalahan gizi dan kesehatan di Indonesia , maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Pemerintah sendiri telah berupaya berupaya membuat program perbaikan gizi, namun belum sepenuhnya optimal. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif.

Untuk menjalankan program perbaikan gizi secara optimal, diperlukan dukungan seluruh lapisan masyarakat, dan lembaga kemanusiaan yang turut concern dalam mengatasi problematika tersebut. Seperti halnya Dompet Dhuafa, lembaga zakat yang telah berkiprah lebih dari 20 tahun dalam bidang kemanusiaan, salah satunya pada sektor kesehatan. Program pemberdayaan kesehatan yang dirintis Dompet Dhuafa antara lain, Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), Rumah Sehat Terpadu (RST), dan Gerai Sehat.

Problematika yang dirasakan amat pelik, ketika faktor biaya dalam pelayanan kesehatan menjadi penghalang utama masyarakat dhuafa untuk mendapat kesejahteraan dalam menikmati pelayanan kesehatan. Terlebih, masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah pelosok pedesaan, yang jauh dari akses pelayanan kesehatan baik Puskesmas maupun Rumah Sakit. Padahal komunitas kaum miskin ini rentan terhadap berbagai penyakit. Jumlah mereka banyak, tersebar di mana-mana, baik di gang-gang sempit di tengah kota hingga bertumpuk di pinggiran kota, maupun di pelosok-pelosok desa.

Hal ini yang membuat Dompet Dhuafa sebagai lembaga kemanusiaan sosial yang konsen bergerak di bidang kesehatan, mendirikan sebuah klinik layanan kesehatan gratis bagi kaum dhuafa yang telah tersebar hampir di seluruh Provinsi Indonesia. Ya, jejaring kesehatan tersebut bernama Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC). Berdiri sejak tahun 2001, LKC didirikan sebagai wahana kesehatan komprehensif dalam bentuk pusat kesehatan komunitas yang menerapkan lingkup aktivitas penyehatan meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative di suatu wilayah tertentu dengan menerapkan prinsip kawasan kesehatan.

LKC menjadi pengampu 2 upaya penyehatan komunitas yang meliputi Gerai Sehat dan Pusat Aktivitas Program Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat (Jaringan Kesehatan Ibu dan Anak, Kebun Sehat Keluarga, Siaga Bencana, Anak Indonesia Sehat, Kesehatan Reproduksi, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Sepanjang tahun 2015, LKC Dompet Dhuafa yang tersebar di beberapa titik wilayah di antaranya Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, NTT, Sulawesi Selatan dan Papua, mencapai 91.616 pemetik manfaat.

Setelah meresmikan Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) pada 2001 silam, Dompet Dhuafa  mendirikan pelayanan kesehatan tingkat rujukan yang  akan memberikan pelayanan kesehatan sekelas rumah sakit. Layanan ini dinamakan Rumah Sehat Terpadu (RST) Dompet Dhuafa yang diresmikan pada 4 Juli 2012.  Rumah sakit gratis yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa ini merupakan,  model rumah penyembuhan yang memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi kaum dhuafa dengan pendekatan kehangatan keluarga, ketepatan waktu, professional dan sentuhan hati.

Terkait permasalahan gizi buruk, Dompet Dhuafa melalui divisi kesehatan juga menginisiasi program Pos Gizi yang bertujuan untuk mengupayakan perbaikan gizi dan kesehatan untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Beberapa wilayah yang menjadi pemetik manfaat dalam program tersebut di antaranya Banten, Bogor, dan Lombok Utara. Penyuluhan kesehatan terkait perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga juga dijalankan dalam  program tersebut.

Ikhtiar Dompet Dhuafa dalam membantu problematika sosial negeri ini dalam sektor kesehatan ini masih perlu dukungan penuh dari banyak pihak. Diharapkan, program pemberdayaan kesehatan yang dirintis mampu berjalan optimal, setidaknya mengurangi permasalahan gizi buruk di Tanah Air. (Dompet Dhuafa/berbagai sumber/Uyang)