Soempah Pendidikan

Bila kita ditanya apa sebenarnya masalah terbesar bangsa ini sehingga masih terus berkubang dalam kemiskinan? Boleh jadi kita akan mendapatkan jawaban beragam, misalnya masalah kesempatan kerja, pengangguran, politik, hokum, dan HAM, kesenjangan ekonomi, demokrasi, sistem moneter, sistem kapitalis, neoliberalisme, kesehatan, dan lain sebagainya.

Jawaban-jawaban tersebut bisa jadi benar adanya. Tapi, kalau kita pergi ke desa-desa terpencil, bisa jadi jawaban-jawaban tersebut termentahkan. Suku Badui yang hidup di pedalaman Banten sana, bisa hidup dengan menangkap ikan-ikan yang berkeliaran di sungai. Bisa memetik buah dan hasil bumi dari ladangnya. Bisa merajut dan menenun bajunya sendiri, dan bahkan bisa menjualnya kepada para tamu yang sengaja mengunjunginya. Suku Bajo yang hidupnya menyebar dan mengandalkan laut, bisa hidup hanya dari hasil laut yang mereka tangkap. Mereka hidup damai, tenteram, tidak pernah ribut soal ekonomi, politik nasional apalagi ribut-ribut tentang gosip artis dan sidang para koruptor. Saya yakin kehidupan seperti ini masih bisa banyak ditemui di desa-desa di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua, dan kawasan lainnya.

Lalu apa sebenarnya masalah terbesar sebuah bangsa untuk bisa maju dan menyejahterakan rakyatnya secara adil dan merata? Menurut saya masalah itu adalah pendidikan. Suku Badui dan Suku Bajo boleh jadi bisa hidup dengan caranya, akan tetapi seiring dengan kemajuan jaman bisa jadi mereka lambat laun akan tergilas oleh kemajuan tersebut bila mereka tak terimbas pendidikan. Tentulah pendidikan yang dibutuhkan bukanlah pendidikan yang justru bisa meniadakan keberadaan mereka. Apalagi pendidikan yang berdampak merusak kesetimbangan alam. Pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang menyejahterakan, tapi tidak merusak kesetimbangan alam, tidak merendahkan martabat manusia, dan tentu saja beretika.

Mungkin kita bisa belajar dari keberhasilan China. Reformasi China yang telah berjalan 30 tahun dan berhasil seperti sekarang ini, di samping karena keberhasilan mereka dalam mengadopsi sistem ekonomi pasar, serta industrialiasi yang sudah dijalankan sejak tahun 1949, yang sangat menjadi landasan keberhasilan mereka adalah karena kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan. Wajib belajar telah dijalankan China sejak tahun 1950-an sehingga tingkat buta huruf pada masa Mao (1952-1978) bisa ditekan hingga hanya 7%.

Dengan modal ini, mereka tidak mengalami banyak kesulitan ketika mereka mulai membuka kembali pendidikan tinggi di tahun 1979. Dan, kemudian ketika investor asing mulai masuk, tenaga-tenaga terdidik China langsung bisa menempati posisi di perusahaan-perusahaan tersebut. Dan dalam 30 tahun reformasi dijalankan, kita bisa saksikan keberhasilan mereka sekarang ini. Dalam perayaan 60 tahun Republik Rakyat Tiongkok, mereka berhasil menggelar parade yang menunjukkan keberhasilan mereka. Dalam defile militer, mereka menampilkan pesawat tempur, tank, misil-peluru kendali dan persenjataan lainnya yang kesemuanya adalah merupakan produksi dalam negeri. Tahun lalu kita bisa menyaksikan keberhasilan menyelenggarakan olimpiade terbesar dan termegah sepanjang sejarah dan yang sangat penting adalah mereka berhasil mengalahkan Amerika Serikat.

Maka tidak ada keraguan sedikit pun, pendidikan haruslah menjadi prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bila kita ingin 15 tahun mendatang mengidamkan Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur sesuai visi Indonesia 2024. Semoga pemerintah bisa menepati anggaran pendidikan dua puluh persen untuk segera dilaksanakan penuh. Kita harus berani mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain. Atau mungkin, kita boleh membuat Soempah Pendidikan, menyambut momen Soempah Pemuda 1928: Bertekad menjamin pendidikan yang berkualitas bagi seluruh penduduk negeri.

Sumber gambar : Kompas.com