Syarat-syarat Wajib Zakat I

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

Salah satu pilar penting Islam adalah zakat, karena ia bukan semata ibadah yang berdimensi individual namun juga sosial. Ia merupakan instrumen penting pemerataan pendapatan, jika zakat dikelola dengan baik dan profesional. Karena dengan zakat, harta akan beredar dan tidak berakumulasi di satu tangan orang-orang kaya (Al-Hasyr: 7) Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.

Kewajiban mengeluarkan zakat disebutkan sebanyak 36 kali dalam Al-Quran, dua puluh kali diantaranya digandengkan dengan kewajiban menunaikan shalat. Secara kebahasaan, zakat berasal dari kata zaka yang berarti tumbuh dan berkembang. Bisa juga zakat itu berarti suci, bertambah, berkah, dan terpuji. Secara terminologi, zakat berarti: Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, di samping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri (Hukum Zakat: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Litera Antar Nusa dan Mizan, 1996).

Zakat merupakan sarana paling tepat dan paling utama untuk meminimalisir kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, sebagai satu bentuk sikap dari saling membantu (takaful) dan solidaritas di dalam Islam (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Zuhaili, Daarul Fikr, jilid II, hal.732).

Diantara hikmah zakat menurut Al-Qaradhawi adalah sebagai bentuk pembersihan dan penyucian, baik material maupun spiritual, bagi pribadi orang kaya dan jiwanya, atau bagi harta dan kekayaannya (Hukum Zakat, hal 848). Zakat adalah refleksi keimanan seseorang kepada Allah swt. dan sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya (Ibrahim: 7).

Ia juga menjadi sarana penolong dan pembantu bagi para mustahiq ke arah kehidupan yang lebih baik dan sebagai pilar amal bersama antara pejuang yang tidak mampu dengan orang-orang kaya (Al-Baqarah : 278). Surat Al Baqarah Ayat 278: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.

Zakat merupakan sumber dana bagi pembangunan sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh umat Islam. Seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan maupun sosial dan ekonomi kaum muslimin. Dalam zakat terdapat dimensi sosialisasi cara berbisnis yang benar. Sebab, zakat bukanlah memberikan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan harta hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dan peroleh dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan dan hukum Allah (Al-Baqarah: 267).

Surat Al Baqarah Ayat 267: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Dalam zakat ada indikasi bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras mendapatkan harta. Sebab, hanya mereka yang memiliki harta yang bisa mengeluarkan zakat. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka lapangan kerja dan usaha yang luas sekaligus penguasaan aset-aset umat Islam (Zakat dalam Perekonomian Modern, Dr. Didin Hafidhuddin, Gema Insana Press, 2002).

Dalam pandangan Al-Qardhawi, zakat merupakan ibadah maliyah ijtimaiyyah, yaitu ibadah di bidang harta benda yang memiliki fungsi strategis, penting, dan menentukan dalam membangun kesejahteraan masyakarat. Zakat akan melahirkan dermawan yang suka memberi, bukan sosok yang menggerogoti. Seorang muzakki akan terhindar dari sifat kikir yang merupakan “virus ganas” dan penghambat paling utama lahirnya kesejahteraan masyarakat.

Zakat akan menjadi obat paling mujarab untuk tidak menjadi hamba dunia dalam kadar yang melewati batas. Ia akan mengingatkan kita bahwa harta itu adalah sarana dan bukan tujuan hidup kita.

Para muzakki akan memiliki kekayaan batin yang sangat tinggi, sehingga dia akan menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang suka meringankan beban orang lain, yang memiliki kedalaman cinta pada sesama dan simpati pada manusia. Tentunya, zakat pasti akan membuat harta kita berkembang dan penuh berkah.

Bagi si penerima (mustahiq), zakat memiliki arti yang penting. Karena dengan zakat, dia menjadi terbebas dari kesulitan-kesulitan ekonomi yang sering kali menjerat langkah dan geraknya. Dengan zakat, akan muncul rasa persaudaraan yang semakin kuat dari mereka yang menerima. Sebab, mereka merasa “diakui” sebagai bagian dari “keluarga besar” kaum muslimin yang tidak luput dari mata kepedulian kaum muslimin lain, yang Allah beri karunia berupa harta.

Dengan demikian, tidak akan muncul sifat dengki dan benci yang mungkin saja muncul jika orang yang kaya menjelma menjadi sosok apatis dan tidak peduli kepada orang-orang yang secara ekonomis tidak beruntung. Ini adalah praktik langsung dari apa yang Rasulullah saw. sabdakan, “bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya” (HR. Bukhari-Muslim)

 

Sumber artikel: noe2xpoenya.blogspot.com dan redaksi

Sumber gambar: rumahzakat.org