Yuke Yuliantaries; Merawat Warisan dan Memberdayakan Sekitar

Oleh: Widyati Yuliandari

 

Indonesia Move On bisa disemai di mana saja. Bahkan dari sebuah tempat yang sedikit terisolir dan belum populer. Seperti yang dilakukan Yuke Yuliantaries, sosok muda yang sukses memberdayakan sekitar sekaligus merawat warisan leluhur melalui produk batik tulis yang saat ini sudah mendunia.

Dari Bondowoso, The Hidden Paradise, tulisan ini saya persembahkan untuk Indonesia Move On.

(A Blog from The Hidden Paradise)

Suatu saat, instansi tempat saya bekerja menerima surat dari sebuah Kementerian. Saya lupa pastinya kementerian apa, entah PDT atau Kemenperin. Isi surat intinya meminta institusi saya untuk mem-follow-up sebuah isu lingkungan terkait batik. Sebuah Isu internasional yang berkembang kalau tidak salah pasca dikukuhkannya batik sebagai World Heritage.

Maka kami satu tim langsung meluncur ke sebuah workshop batik, satu-satunya yang kami tahu saat itu. Sumber Sari Kecamatan Maesan, terletak di selatan kota Bondowoso yang berbatasan dengan Kabupaten Jember, jaraknya sekitar 15 kilometer dari pusat kota tape.

Saat itulah saya pertama kali kenal dengan Batik Sumbersari, juga pertama kali saya bertemu dengan Yuke Yuliantaries, sosok muda yang mengomandani usaha tersebut.

Salah satu yang menarik, Yuke begitu low profile dan sangat kooperatif juga santun. Saat saya harus mengambil sampel air bekas celupan dan pencucian batik produksinya, ia langsung mengiyakan dan membantu.

Batik 1

Inilah kali pertama saya melihat langsung proses produksi Batik kebanggaan Bondowoso ini. Batik-batik indah yang mengusung konsep Kontemporer, Modern dan tradisional motif.

 

Memberdayakan Masyarakat Sekitar

Beberapa pekerja laki-laki yang rerata masih muda, bekerja di sisi kanan bangunan rumah sekaligus workshop Yuke. Mereka sedang mengerjakan batik buatan tangan dan menggunakan pewarna alami.

Saya berjalan memutari bangunan hingga mencapai halaman belakang. Wah, halaman belakang yang cukup luas dengan taman nan asri dan terdapat beberapa pondok di sana.

Rumah 1

Pondok-Pondok Asri Ini Adalah Tempat Perempuan Pembatik Ini Berkarya, Yuke Sanggup Melakukan Pemberdayaan Masyarakat Sekitarnya.

Di pondok-pondok itulah para pekerja perempuan membatik. Mereka rata-rata Ibu-ibu muda. Sesekali saya melihat mereka mengobrol ringan dengan rekan di sekitarnya. Bersenda sambil tangannya tetap lincah menyiduk malan panas dengan cantik dan menorehkan di atas kain putih. Kain yang bakalan menjelma menjadi batik yang indah dan anggun.

Para pekerja perempuan ini adalah para warga tetangga sekitar workshop. Jika kebiasaan di desa para perempuan nonggo, lalu ngerumpi, maka para perempuan di pondok ini berbeda. Mereka lebih memilih bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Sebenarnya, menurut penelusuran saya dan juga sesuai penuturan Yuke, daerah Bondowoso tidak memiliki sejarah batik yang cukup panjang. Tidak seperti di Yogya atau Solo di mana batik sudah menjadi napas.

Situasi ini menyebabkan, keterampilan membatik jarang dimiliki warga sini. Hebatnya, Yuke mampu merekrut dan membuat tangan-tangan mereka terampil menghasilkan batik kelas dunia.

Saya sebut batik Yuke ini kelas dunia karena batik ini sudah dapat ditemui di sebuah gerai di Finlandia. Batik Sumbersari dan juga telah dijual ke beberapa negara lain di mancanegara. Dan batik ini memiliki banyak kekuatan.

Pertama, dari aspek ide desain. Melihat batik-batik Yuke motif-motifnya sangat indah dan unik. Motif-motif khas Bondowoso digarap dengan selera tinggi. Urusan desain ini ditangani langsung oleh adik Yuke, Ifriko Desriandi.

Batik 2

Motif Khas Batik Bondowoso, Keanggunan Dalam Kesederhanaan

Batik 3

Tahap Akhir Proses Produksi, Lihatlah Kenggunan Motifnya

Motif daun singkong atau ketela yang memang merupakan motif khas Bondowoso terus dikembangkan. Begitu juga motif-motif lain seperti daun tembakau yang juga digali dari kekayaan lokal Bondowoso. Selain Singkong (tape singkong), tembakau juga merupakan salah satu pendukung ekonomi Bondowoso.

Kedua, Batik Sumbersari ini kualitasnya tak main-main. Setiap helaianya diproduksi dibawah pengawasan Yuke. Bahan bakunya pun merupakan bahan terbaik.

 

Bermula dari Tante

Sejarah Batik Tulis Sumbersari bermula dari Sang Tante. Lilik Soewondo, Tante Yuke yang memegang kendali perusahaan sejak 1985. Kala itu, para pembatik adalah anggota Karang Taruna.

Saat badai krisis moneter melanda Indonesia di tahun 97-98, usaha batik ini sempat kolaps. Namun tak lama, tahun 99 usaha membatik dimulai lagi. Saat itulah Yuke mulai terlibat didalam mengelola usaha ini.

Bergabungnya Yuke dalam mengelola Batik Sumbersari saat itu, memberi beberapa pembaruan dalam konsep bisnis batik sumbersari. Pembaruan yang pertama adalah dari sisi desain dan motif. Penggunaan bahan serta manajemen juga mulai dibenahi.

Pada tahun 2000, Yuke dipercaya memimpin perusahaan keluarga tersebut. Ini membuat Yuke makin mantap melakukan langkah-langkah, bahkan yang terbilang ekstrim demi mengangkat citra batik dan memajukan roda usaha ini.

Yuke memberi perhatian pada aspek desain. Untuk itu, bagian desain dan motif yang sebelumnya dilakukan oleh ayahnya, kemudian dipercayakan kepada adiknya, Ifriko Desriandi.

Yuke benar-benar ingin menampilkan citra baru Batik Sumbersari.

Image lama harus dirubah dengan yang baru, kata Yuke.

Harapannya, citra batik yang ala kadarnya dapat menjadi karya spesial yang bisa diterima pasar secara luas.

 

Membidik Kelas Atas dan Merambah Pasar Internasional

Salah satu inovasi yang dilakukan Yuke dalam memajukan bisnisnya adalah membidik target pasar kelas atas. Jika sebelumnya Batik Sumbersari banyak bermain di kelas menengah ke bawah, Yuke kemudian merubah target. Sasaranya adalah kelas atas.

Ini tentunya juga diikuti penyesuaian produk. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas bahan baku. Jika sebelumnya menggunakan kain katun kelas dua, ditingkatkan kualitasnya menjadi kain katun kelas satu. Bahan baku berupa kain sutera juga mulai digunakan.

Upaya-upaya Yuke berbuah manis. Order melesat meski harga batiknya tak dapat dibilang murah. Batik ukuran 2 meter (m)-2,5 m berbahan katun dibandrol Rp 300.000-Rp 1 juta per helainya. Sementara batik berbahan sutera biasa Rp 700.000-Rp 2 juta. Batik dari bahan sutera kualitas bagus bahkan berbandrol Rp 1 juta-Rp 5 juta per helai.

Batik 4

Karya Yuke : Totalitas Dan Kesempurnaan Tercermin Dalam Setiap Helainya

Batik Yuke mulai banyak digunakan kalangan pejabat. Bahkan beberapa penggede dari pusat, termasuk Presiden SBY, pernah mengenakan Batik Sumbersari. Pasar batik makin meluas. Tak hanya order individu, instansipun mulai berdatangan memesan batik untuk seragam.Omzet mencapai 100 juta per bulan. Yuke juga mampu memberdayakan lebih dari 50 orang pembatik dari lingkungan sekitarnya.

Pada tahun 2003, tiga tahun setelah kepemimpinan Yuke, Batik Sumbersari mulai mendunia. Saat itu, pasar Asia Tenggara mulai dirambahnya. Batik Sumbersari mulai berkelana hingga Filipina, singapura dan Negara-negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2004, Batik ini sudah mampu menembus pasar Eropa dan Amerika, seperti Belanda, Perancis, hingga Brazil dan Amerika.

 

Selalu Ada Tantangan

Pencapaian yang demikian membanggakan itu, bukannya sepi tantangan. Setiap effort pasti memiliki tantangan. Misalnya saat Unesco memutuskan bahwa batik sebagai warisan dunia, World Heritage. Sejak saat itu, apresiasi terhadap batik makin meningkat.

Situasi ini menciptakan banyak kompetitor yang bermain di pasar batik. Batik sumbersari yang tadinya pemain satu-satunya di wilayahBondowoso dan sekitarnya, mau-tak mau harus bersaing dengan para kompetitor. Akibatnya, sempat omzetnya turun. Pada tahun 2009, misalnya sempat omsetnya turun hingga 30 persen.

Tantangan kompetitor ini dijawab Yuke dengan berani yaitu dengan cara meningkatkan kualitas produknya. Dan cara tersebut bekerja bagus. Pasar yang mulai hilang, berangsur kembali lagi.

Batik Adalah Hidupku .

Bagi Yuke, batik sudah menjadi hidupnya. Secara materi, Yuke mampu mengusahakan penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarga. Namun bukan sekedar diukur dari materi, melalui batik, Yuke mampu berbuat sesuatu bagi lingkungannya. Setidaknya bagi lebih dari lima puluh pembatik yang beroleh rejeki melalui Batik Sumbersari ini.

Puaskah dia dengan pencapaian ini? Tentu belum. Waktunya kini masih banyak dihabiskan dengan terus membuka pasar baru. Bersama sang adik, Yuke tetap memonitor langsung setiap helai batik yang diselesaikan para pekerjanya. Baginya, sangat penting urusan kontrol kualitas batik yang dihasilkan. Untuk urusan kualitas, Yuke memang sungguh perfeksionis!

Empowering Tak Kenal Henti

Yuke tak hanya berpikir untuk membesarkan usahanya sendiri. Di sela waktunya mengurus Batik Sumbersari, dia tak enggan berbagi ilmu batik juga enterpreunernya pada generasi muda. Saat saya bertandang kebetulan Yuke sedang berbagi dengan sekelompok mahasiswa dari Kota Jember.

Yuke juga kerap diundang untuk mengajarkan proses membatik di sekolah-sekolah. Undangan ini selalu disambut hangat. Yuke bahagia dapan men-share ilmunya. Semua itu juga diakukan sebagai wujud kecintaannya terhadap batik.

Cerita Tentang DD dan Empowerment

Kata power dalam empowerment diartikan “daya” sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Berbicara soal pemberdayaan atau empowerment, akan selalu selaras dengan salah satu organisasi nirlaba ini. Dompet Dhuafa, lembaga nirlaba milik masyarakat indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial-kemanusiaan kaum dhuafa.

Visi-misi Dompet Dhuafa yang kental dengan semangat empowerment, mengejawantah dalam program-program pemberdayaan. Program-program tersebut meliputi bidang kesehatan, pendidikan, sosial.

So, DD merupakan mitra yang tepat bagi Anda berkontribusi dalam empowering

 

Reviewed by: Dian Mulyadi

 

Tulisan ini sudah melalui proses editing tanpa mengurangi substansinya, disadur dari: http://widyanti.blogdetik.com/yuke-yuliantaries-merawat-warisan-dan-memberdayakan-sekitar/