Hukum menjual kulit hewan kurban perlu kita pahami, agar tidak salah langkah menyikapi bagian kulit atau kepala hewan kurban. Pasalnya, bagian kulit dan kepala memang tidak semudah mengolahnya menjadi makanan seperti bagian daging. Apalagi nilai jual kulit dan kepala hewan cukup tinggi. Namun, jika kulit dan kepala ini tidak dikonsumsi oleh masyarakat, harus bagaimana agar tidak mubazir?
Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban Berdasarkan Hadits
Idul Adha adalah hari raya yang diisi dengan shalat id dan ibadah kurban bagi yang mampu. Kemudian hewan kurban yang telah disembelih, dagingnya dibagikan kepada seluruh umat muslim secara merata, diutamakan untuk kaum fakir dan miskin. Namun, seringkali bagian kulit dan kepala hewan kurban tersisa.
Rasullulah bersabda dalam sebuah hadist Riwayat Al Hakim, “Siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya.” (HR. ak-Hakim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa hukum menjual kulit hewan kurban akan membuat pahala ibadah menjadi gugur. Nilai hewan menjadi sembelihan biasa, bukan sembelihan kurban.
Baca Juga: Bagaimana Jika Hewan Kurban Disembelih di Atas Tanggal 14 Dzulhijjah?
Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban
Ada berbagai pendapat dari para Imam Mazhab tentang hukum menjual kulit hewan kurban. Pendapat ini dapat menjadi pertimbangan Sahabat untuk memahami hukum menjual kulit hewan kurban.
Berdasarkan Kitab Imam Syafi’i
Pernah usulan supaya bagian hewan kurban yang tidak dimakan, seperti kulit atau kepala dijual saja, lalu hasil penjualannya digunakan untuk biaya operasional atau upah penjagal.
Dijelaskan dalam hadits riwayat Bukhari yang berbunyi, “Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) beliau, membagi semuanya, dan jilalnya (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya.” (HR Bukhari no. 1717).
Menurut Imam Nawawi, berdasarkan teks redaksional mazhab Syafi’i, maksud dari hadits di atas adalah untuk tidak mengganti upah penjagal kurban dengan kulit maupun hewan kurban. Bagian dari hewan kurban hanya boleh diberikan secara cuma-cuma untuk penjagal. Setiap penerima daging kurban pun tidak boleh menjualnya kembali. Apapun bagiannya, meliputi daging, kulit, tanduk, dan rambut, semuanya dilarang.
Jangankan untuk menjadi upah penjagal, hukum menjual kulit hewan kurban juga tidak bisa digunakan untuk operasional kegiatan kurban. Seluruh bagian hewan kurban yang bisa dikonsumsi, wajib dibagikan tanpa tersisa.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya.”
Baca Juga: Harga Kambing Kurban 2024 Terlengkap
Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban Menurut Imam Hanafi
Dalam Mazhab Hanafi tertulis boleh menjual daging atau kulit kurban dengan syarat tertentu. Yaitu, hasil penjualannya disedekahkan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga bagi orang yang berkurban atau menyedekahkannya kepada fakir miskin. Mengqiyaskan hasil penjualan tersebut dengan daging.
Taqiyuddin Al-Hushni Al-Husaini menyebutkan hal ini dalam Kifayatul Akhyar seperti kutipan berikut, “Perlu diketahui bahwa ibadah kurban itu terletak pada pemanfaatan tubuh hewan kurban itu sendiri. Karenanya daging kurban tidak boleh dijual, bahkan termasuk menjual kulitnya. Bahkan orang yang berkurban tidak boleh memberikan kulitnya kepada penjagal sebagai upah penyembelihan hewan kurban meskipun kurban itu ibadah sunnah. Orang yang berkurban boleh menyedekahkan kulitnya. Pilihan lain, ia boleh memanfaatkan kulitnya untuk membuat khuf (sepatu rapat tak tembus air, terbuat dari kulit), sandal, timba, atau benda lainnya. Tetapi ia tidak boleh memberikannya kepada orang lain sebagai upah penyembelihan. Status perlakuan terhadap tanduk hewan kurban serupa dengan perlakuan terhadap kulit hewan kurban.”
Baca Juga: Cek Harga Sapi Kurban 2024 Terkini
Pemanfaatan Kulit Hewan Kurban
Pada pemikiran Mazhab Imam Syafi’i tegas mengatakan bahwa hukum menjual kulit hewan kurban adalah haram dalam bentuk apapun, sedangkan pada pemikiran mazhab Imam Hanafi memperbolehkan jual dengan syarat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga orang yang berkurban, atau disedekahkan kepada fakir miskin. Perbedaan pemikiran ini tidak terlalu tajam, sebab keduanya menolak untuk menjual kulit kurban untuk membayar upah jagal ataupun operasional. Larangan menjual kulit hewan kurban tidak hanya berlaku pada orang yang berkurban, namun juga berlaku pada orang yang menerima daging kurban.
Jika kulit hewan kurban tidak ada yang mau mengolah atau memakannya, kulit dapat diolah menjadi manfaat dalam bentuk lain. Seperti dibuat kantung air, terpal, timba, ataupun bedug. Dengan syarat selama hewan tersebut bukan kurban nadzar atau kurban wajib yang harus diberikan kepada orang lain. Seperti yang dijelaskan oleh Imam As-Syarbini dalam Kitab Al-Iqna’, “Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya,” (HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121).
Wallahu’alam bissawab.
Baca Juga: Awal Mula dan Perkembangan Program Tebar Hewan Kurban
Berkurban Hingga ke Pelosok Negeri bersama Dompet Dhuafa
Tentu sebagai umat muslim yang ingin menjalankan ibadah kurban, Sahabat membutuhkan lembaga yang amanah. Dari proses pra Idul Adha, dengan memastikan hewan kurban sehat dan sesuai syariat. Saat hari penyembelihan hewan kurban, dilaksanakan dengan aman dan sesuai syariat. Serta distribusi daging kurban yang ditujukan kepada kaum yang benar-benar membutuhkan.
Bersama Dompet Dhuafa, kurban Sahabat dapat didistribusikan ke pelosok negeri, hingga daerah yang jarang sekali menerima daging kurban. Tabung pahala akhirat dengan berkurban di Dompet Dhuafa. Klik gambar di bawah ini untuk informasi lebih lanjut.