Ditulis oleh: Royani BARZAH (Badan Pemulasaraan Jenazah)
Melihat rumah duka yang ramai dengan pelayat hingga mengantar jenazah sampai liang lahat mungkin sudah biasa. Namun, bagaimana dengan jenazah tanpa pelayat, bahkan tak ada kerabatnya seorang pun?
Satu waktu kami diminta untuk menjemput jenazah di sebuah rumah sakit di kawasan Bogor. Jenazah hanya didampingi oleh seorang teman, tanpa ada kerabat, saudara, ataupun anak dan istri. Pukul 13.15 WIB mobil jenazah masuk area parkir kamar jenazah sebuah rumah sakit pemerintah di Bogor. Dari ruang kemudi, saya melihat seorang lelaki paruh baya berdiri santai tepat di depan pintu kamar jenazah.
Saya lalu bergegas turun dari mobil dan menghampiri lelaki tersebut. “Sendirian pak?” sapa saya. “Iya,” sahutnya singkat sambil tersenyum tipis. Tak lama kemudian, datang seorang satpam yang menjaga area belakang rumah sakit, termasuk ruang jenazah.
“Mobilnya mundur lagi, Pak. Sedikit lagi, supaya lebih dekat,” sang satpam memulai percakapan dengan mengarahkan saya.
“Siap ndan,” sahut saya tegas.
Perlahan mobil mundur mendekati pintu kamar jenazah. Kami pun memulai aktivitas dengan membuka pintu belakang mobil, lalu mengeluarkan keranda. Kami letakkan jenazah di sebelah brankar yang masih terisi jenazah.
Baca juga: Bina Santri Lapas: Dompet Dhuafa Beri Pelatihan Pemulasaraan Jenazah untuk Warga Binaan
Saya melihat sang satpam tersenyum ringan, menandakan adanya kendala kecil namun berat. Ya begitulah orang yang sudah biasa menangani jenazah. Hanya dari gerak tubuhnya saja, kita sudah bisa membaca bahwa ada kendala. Setelah melihat postur tubuh jenazah, kami bertiga kesulitan memindahkannya, karena berat tubuh jenazah lebih dari 80 kg.
Sekitar 30 menit kami berjibaku mencari cara terbaik untuk memindahkan jenazah dari brankar kamar jenazah ke keranda mobil Barzah. Setelah berkas administrasi jenazah diterima, kami pun bergegas berangkat menuju rumah duka di Kabupaten Bogor wilayah utara.
“Bang, abang tau rumah dukanya?” tanya saya sambil perlahan melaju meniggalkan area rumah sakit.
“Ya insyaallah tahu,” jawabnya dengan nada rendah.
“Terus, keluarganya sudah dikabari dan siap nerima kedatangan jenazah bang?” tanya saya sambil menambah kecepatan laju mobil.
“Ya, sudah siap,” jawabnya sambil meletakkan tangan kiri di atas kepala lalu menggaruk-garuknya ringan.
Saya mulai ragu mendengar jawabannya. Tiga puluh menit melaju, tibalah kami di tempat tujuan. Sepi, tidak terlihat seorang pun yang bersiap menerima kedatangan jenazah.
“Ini rumah siapa, Pak?” tanya saya tegas kepada lelaki yang mendampingi jenazah.
“Ini rumah saudaranya, adiknya kalau nggak salah,” jawabnya.
“Lah, memang dia nggak punya rumah?” tanya saya lagi.
“Iya, dia sudah pisah sama istri. Semua anaknya ikut istrinya,” ucap lelaki itu.
“Terus gimana ini jenazahnya?” tanya saya, resah.
“Ya sebentar dulu, Pak,” sahut lelaki tersebut.
Selang beberapa waktu, datanglah seorang lelaki bersama istrinya yang mengaku sebagai ketua lingkungan setempat dan bertanya kepada kami jenazah siapa ini. Alhamdulillah ketua lingkungan tersebut mengenal pendamping jenazah dan setelah diceritakan ternyata ketua lingkungan pun mengenal jenazah tersebut.
Baca juga: Kisah Sigit, Awal Bencana Menyeretnya Ke Layanan Jenazah
Tapi uniknya penghuni rumah yang merupakan adik almarhum tidak mau keluar. Sepertinya tidak mau menerima kedatangan jenazah. Selang beberapa menit, pemilik rumah pun keluar setelah diminta oleh ketua lingkungan setempat.
“Jangan diturunin di sini. Saya memang saudaranya, tapi saya nggak mau terima jenazah dia, bawa kemana bae terserah. Makan tuh warisan orang tua,” teriak seorang wanita beranak dua perawakan langsing setengah tua dengan lantang, sambil menunjuk tegas ke arah mobil jenazah.
Kemudian, oleh ketua lingkungan kami diarahkan ke rumah saudaranya yang lain di desa sebelah, masih di wilayah Kabupaten Bogor sebelah utara. Lima belas menit kemudian kami pun tiba di rumah berikutnya. Tapi, lagi-lagi kami menerima jawaban dan sikap yang sama dari pemilik rumah. Saudara almarhum tegas menolak kedatangan jenazah, bahkan menyuruh kami untuk membuang saja jenazah ke sungai.
“Ada apa ini ya?” tanya kami dengan lelah.
Setelah sepuluh menit mobil Barzah terparkir, akhirnya datang seorang tokoh yang keluar dari musala dan baru saja menunaikan salat Asar. Tokoh tersebut mengenali almarhum, karena pernah menjadi teman main waktu kecil. Beliau lah yang akhirnya memutuskan untuk melakukan fardhu kifayah jenazah tersebut.
Dengan berkoordinasi ke pihak TPU setempat dan petugas yang memandikan jenazah, akhirnya menjelang Magrib jenazah almarhum langsung diantar ke TPU setelah disalatkan oleh empat orang yang ada di lokasi.
Baca juga: Dompet Dhuafa Gelar Pelatihan Pemulasaraan Jenazah di Masjid King Abdurrahman Al Khair
Usai dimakamkan, sang tokoh agama lalu bercerita panjang terkait perjalanan hidup almarhum yang ia kenal sejak kecil. Berdasarkan ceritanya, setelah menikah dan cerai dengan istri pertama jenazah tersebut sempat beberapa kali ganti istri. Hartanya habis terjual untuk menopang gaya hidupnya, sampai anak-anaknya pun meninggalkan karena merasa ditelantarkan.
Beberapa saudaranya kecewa berat, karena merasa dirugikan almarhum sebagai anak paling tua serakah sekali dengan harta warisan orang tua. Tanpa bertanya dan musyawarah dengan keluarga, almarhum menjual lahan milik orang tuanya dan dipakai untuk berfoya-fota.
Sampai pada puncaknya, rumah satu-satunya peninggalan orang tua dijadikan jaminan pinjaman ke bank dan akhirnya tidak mampu bayar, sehingga rumah itu pun disita oleh pihak bank. Dari situlah semua saudaranya murka. Sampai di hari wafatnya, mereka tidak mau tahu.
“Ya begitu dah orang kalau serakah mah. Di mana-mana juga belum pernah ada orang kaya gara-gara serakah sama warisan. Yang ada mah malah susah blangsak,” ujar sang tokoh menutup cerita. (Dompet Dhuafa)
Penyunting: Ronna