Terus Jalani Hidup Sebagai Manusia yang Berasas Kemanusiaan

JAKARTA – Sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup sebagai manusia terhadap kemanusiaan, Dompet Dhuafa menggelar acara talkshow “Mental Health”. Acara ini diselenggarakan pada perhelatan Jakarta Humanity Festival (Jakhumfest) 2023 di Pos Bloc, Jakarta, Minggu (29/1/2023).

Pada segmen perbincangan ini, Dompet Dhuafa menghadirkan dua praktisi kesehatan mental sebagai narasumber. Mereka adalah Raden Prisya yang merupakan seorang Praktisi Mindfulness dan Rhaka Ghanisatria yang merupakan seorang Co-Founder Menjadi Manusia.

Tema pembahasan yang diangkat adalah “Mengapa Kita Harus Tetap Hidup”. Begitu menarik pembahasan ini, hingga para pengunjung Jakhumfest dengan sangat khidmat mendengarkan setiap pemaparan yang disampaikan.

Baca juga: Jajal Ruang Hening di Jakhumfest 2023, Pengunjung Tertegun: ‘Speechless’

Talkshow tentang “Mental Health” pada Jakhumfest 2023 begitu meaningful.
Penjelasan dari narasumber diterjemahkan kepada bahasa isyarat untuk dimengerti teman-teman yang mengalami gangguan pendengaran.

Dalam pembahasannya, Rhaka Ghanisatria menceritakan dirinya pernah pada tahap tidak ada gairah hidup. Saat itu, ia tidak tau harus seperti apa. Maka yang ia lakukan adalah dengan memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk bersedih. Ia memberikan waktu untuk merasakannya. Dengan begitu, ia bisa lebih aware terhadap apa yang sudah ia lakukan sebelumnya, dan apa yang akan ia lakukan ke depannya.

Sebab untuk bangkit, seseorang harus terlebih dahulu menyembuhkan luka yang ada. Ketika ia jatuh di titik paling bawah, kemudian memaksa untuk melanjutkan, maka itu akan berat dan bahkan tidak akan sanggup.

“Jadi rasakan dulu sakitnya, nikmati dulu pedihnya. Kemudian jika sudah paham dengan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, di situ gunakan sebagai titik balik untuk bangkit,” jelasnya.

Raden Prisya menceritakan pengalamannya. sebagai seorang Praktisi Mindfulness.
Para peserta talkshow menyimak pemaparan dengan antusias,

Ia juga menyarakan untuk tidak segan dan enggan berkonsultasi kepada profesional, yaitu psikolog maupun psokiater.

“Saya menyarankan, jika memang masalah sudah begitu berat, pergilah ke psikolog atau psikiater. Saya tegaskan bahwa itu normal dan tidak perlu gengsi,” tegasnya.

Di samping itu, menurut Raden Prisya, seseorang mengalami stres itu karena butuh orang lain untuk mengakui dirinya. Saat ia memiliki luka batin dan trauma, maka ia berusaha untuk menyelamatkan diri. Cara untuk menyelamatkan diri itu adalah dengan mekanisme pembuktian kepada orang lain bawahnya dirinya hebat. Bisa dengan masuk kampus yang ternama, kantor yang hebat, gaji yang fantastis, membeli barang-barang mewah dan seterusnya. Ini untuk melindungi dirinya dari rasa tidak diakui.

Rhaka Ghanisatria menerangkan bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya.
Salah seorang peserta melontarkan pertanyaan untuk berdiskusi.
Pasangan muda menyimak pemaparan dengan fokus.

Kemudian fase selanjutnya akan ada suara kecil dari hati mengatakan, “Kita capek tau seperti ini”. Selanjutnya orang itu membatasi diri dengan mengurung diri, tidak mau ketemu orang, bahkan kerap menyalahkan diri sendiri.

“Kedua mekanisme atau fase ini harus mampu dipahami,” terang Prisya.

Rhaka kembali mengungkapkan, setelah mengalami berada pada titik terendahnya, ia justru menemukan bagaimana sebenarnya menjadi manusia. Namun, lanjutnya, untuk menemukan bagaimana menjadi manusia, tidak perlu jatuh dulu seperti dirinya.

“Kita bisa temukan hal itu dengan saling peduli terhadap sesama, saling berbagi, saling membantu, saling berbuat baik. Dengan begitu rasa kemanusiaan kita akan semakin tumbuh dan kita semakin paham bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya,” jelasnya.

Alasan untuk terus hidup adalah untuk menjadi manusia yang sesungguhnya dengan memegang dan melakukan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan peduli terhadap sesama, maka rasa simpati dan empati akan terus meningkat, sehingga rasa syukur juga ikut meningkat. Akibatnya, seseorang akan menjalani hidup dengan banyak makna. (Dompet Dhuafa/Muthohar)