Belajar “Mengenal Diri, Menggapai Ilahi” bersama KH Wafiudin Sakam di Pesantren Gemilang

Tausiah KH Wafiudin Sakam di Pesantren Gemilang

BANDUNG, JAWA BARAT — Pada salah satu sesi dalam Program Pesantren Gemilang “Intimate Santri di Usia Emas”, Anggota Dewan Pengawas Syariah Dompet Dhuafa, KH Wafiudin Sakam, menyampaikan materi tentang cara manusia mengenali dirinya sendiri, sehingga mampu menggapai kiradaan Allah Swt. Materi berjudul “Mengenal Diri, Menggapai Ilahi” itu disampaikan kepada 19 orang lansia peserta Pesantren Gemilang yang digelar di Emaki Almasoem Resort, Lembang, Bandung Barat, pada Jumat (4/5/2024).

Pembahasan diawali dengan mengkaji ulang terminologi kata nafsu serta membedah konsep diri dalam Islam. Apabila nafsu dalam bahasa Indonesia dimaknai dengan konotasi negatif, yaitu hasrat jahat atau dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan buruk, maka sebenarnya dalam Islam, kata nafs (نَفْسٌ) berarti diri seseorang atau pribadi individu. Sedangkan hasrat atau dorongan emosional manusia, disebutnya adalah hawa ( الْـهَوَي).

Seperti kata hawa dalam Al-Qur’an surah keempat, An-Nisaa ayat ke-135:

…فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa karena ingin menyimpang dari kebenaran.”

Baca juga: Pesantren Gemilang Keempat: Wadah Saling Motivasi Diri

Ustaz Wafi kemudian mengajak dan mendorong para santri lansia itu untuk menjadi alkayyis, yaitu orang mukmin yang cerdas yang berhasil menaklukkan dirinya dan bekerja untuk keadaan sesudah kematiannya. Ajakan ini berdasarkan pengertian dari hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.

الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ

“Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.” (HR Tirmidzi)

Tausiah KH Wafiudin Sakam di Pesantren Gemilang
Para peserta Pesantren Gemilang antusias menyimak kajian oleh KH Wafiudin Sakam hingga malam hari.

Motivator spiritual itu kemudian menjelaskan bahwa dalam mengenal diri, terjadi pergeseran paradigma yang banyak orang menganggap dirinya semata-mata hanya tubuh/fisik. Yaitu mengejar-ngejar kesenangan dunia, kemudian nanti saat waktunya sudah mati, tubuhnya akan hancur menyatu kembali dengan alam. Setelah itu, selesai sudah dan akan musnah begitu saja.

Nyatanya tidak. Manusia adalah ruh dari sisi Allah yang dimasukkan kepada jasad, yang suatu saat, kapan pun, Allah dengan mudah dapat mengambilnya kembali. Ketika badan ini mati, maka itu sejatinya hanyalah proses pemisahan antara ruh dan badan. Badan akan hancur sedangkan ruh akan tetap hidup.

“Jika kita punya pemahaman seperti ini, kita tidak akan takut tua, bahkan tidak akan takut mati. Melainkan akan berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal untuk menghadap Allah saat Allah memanggil kita kembali ke hadapannya,” jelasnya.

Baca juga: Pesantren Gemilang, Rangkul Donatur Usia Lanjut Menuju Kebermanfaatan Hidup

Justru, lanjut Ustaz Wafi, kematian adalah pintu gerbang yang akan mempertemukan seorang hamba dengan Sang Pencipta. Maka dengan begitu, akan selalu ada semangat menatap hari tua. Karena sesungguhnya, jiwa itu tempatnya adalah di akhirat dan kekal. Ustaz Wafi menjelaskan hal ini dengan mengutip ayat Al-Qur’an surah Al-A’la ayat 17:

وَالۡاٰخِرَةُ خَيۡرٌ وَّ اَبۡقٰىؕ

“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Tausiah KH Wafiudin Sakam di Pesantren Gemilang
KH Wafiudin Sakam memandu zikir yang diikuti oleh seluruh peserta Pesantren Gemilang.

Bagi Ustaz Wafi, menguatkan paradigma tentang keakhiratan adalah untuk membangun optimisme hidup bagi semua orang. Apalagi bagi para lansia.

Upaya ini dapat dilatih dengan memperbanyak zikir kepada Allah dengan sebuah metode khusus. Gunanya di samping itu adalah untuk membersihkan diri sekaligus menyambungkan qalbu terhadap Allah. Zikir ini pasti menentramkan batin serta membangkitkan optimisme dalam hidup.

“Saya pun sudah merasakan seringnya kesepian. Teman-teman sebaya sudah lebih dulu mendahului. Teman-teman lama sudah terpisah mungkin karena sudah pensiun dan sudah jauh-jauh tempat tinggalnya. Anak-anak sudah sibuk mengejar kairer dan melaksanakan tanggung jawabnya terhadap keluarganya sendiri. Ciri orang tua itu memang seringnya adalah kesepian. Maka acara-acara seperti ini, saya rasa sangat diperlukan,” jelas Wafiudin.

Baca juga: Komitmen Peduli Lansia, Dompet Dhuafa Jatim Gelar Pesantren Lansia Angkatan Kedua di Bumi Maringi Peni

Ustaz Wafi pun sangat mengapresiasi kegiatan pesantren bagi lansia ini. Sebagai pengisi materi, ia menjelaskan bahwa untuk sesi materi keagamaan, tidak perlu penyampaian yang berat-berat. Seperti fikih tentang adanya perbedaan pendapat, perdebatan tentang cara ibadah, tentang jihad, dan semacamnya. Namun lebih elok dengan materi yang mengarah tentang cara menentramkan batin, dan ibadah-ibadah apa saja yang ringan namun memiliki nilai yang tinggi. Sehingga dengan itu, bisa dikumpulkan untuk bekal menjelang ajal.

Dari sisi spiritual dan psikologis lainnya juga sangat perlu disampaikan bagaimana memaafkan semua hal yang mereka tidak sukai. Mungkin sejarah hidup yang kelam, mungkin kekecewaan terhadap orang, atau merasa tersakiti.

“Kita harus tahu dan bisa melakukan bagaimana to forgive than to forget. Kemudian memperbanyak zikir kepada Allah agar semakin menenangkan hati. Sehingga jika sudah terbiasa, nantinya jika mati, akan mati dengan husnulkhatimah,” serunya.

Tausiah KH Wafiudin Sakam di Pesantren Gemilang
KH Wafiudin Sakam bersama para peserta dan panitia Pesantren gemilang Dompet Dhuafa di Lembang, Jawa Barat.

Pesantren Gemilang kali ini adalah yang keempat kalinya digelar. Program ini dikhususkan bagi peserta lansia yang ingin meningkatkan kualitas diri setelah pensiun.

Begitu antusias para peserta mengikuti setiap rangkaian aktivitas selama tiga hari dua malam ini. Sebagian besar dari mereka mengikuti acara ini dengan alasan ingin mengisi hari-harinya yang sepi dengan kegiatan bermanfaat. Sepulangnya dari acara ini, mereka menjadi manusia yang termotivasi untuk tetap optimis menjalani hari meskipun sudah tidak banyak yang bisa dilakukan. (Dompet Dhuafa)

Teks dan foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo