Menilik Asa Giat Didik Pedalaman (Bagian Tiga)

Terlantun Cahaya Harap dalam Ruang Gelap

LOMBOK TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT — Mentari pagi menyapa lebih hangat dan terbit lebih terang di Pulau 1.000 Masjid ini. Tepat pukul 6.30 Waktu Indonesia Timur (Jum’at, 13/11/2020), kami telah berada di SDIT Fatihul Hadi Botik, Dusun Orog Gendang. Menghampiri bangunan sekolah itu, kami dikejutkan oleh suara keras ragam do’a dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an disana.

Kami mengira kegiatan sekolah akan mulai pukul 7, namun kami saksikan langsung bahwa anak-anak datang lebih pagi. Membacakan do’a juga mengaji bersama. Ada yang duduk bertiga dalam satu kursi dan meja belajar, serta satu buku panduan doa untuk dibaca bersama oleh tiga siswa. Sudah kami bayangkan di hari sebelumnya, di satu ruangan ini terdapat sekat papan ditengahnya agar terbagi dua, dan dugunakan menjadi 3-4 kelas di dalamnya.

Kali ini anak-anak mulai membacakan Surat Yasin. Beberapa siswa yang tidak memegang buku panduan do’a, tetap lancar, hafal melantunkan ayat demi ayat. Duduk bertumpuk, kursi serta meja belajar seadanya, ruang gelap, tanpa sepatu di alas pasir dan tentunya berdebu, bukan penghalang asa giat mereka disana.

Ya, meskipun di masa pandemi, sekolah / madrasah seperti SDIT Fatihul Hadi Botik tetap mengadakan kegiatan belajar-mengajar seperti biasanya. Banyak faktor yang tidak memungkinkan jika diberlakukan sekolah daring disana. Minimnya sinyal seluler di daerah pedalam, siswa yang tidak memiliki telepon genggam (gadget), pun para tenaga pengajarnya belum semua memiliki telepon genggam yang canggih.

Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Menilik-Asa-Giat-Didik-Pedalaman–Bagian-Dua

Ketua SGI (Sekolah Guru Indonesia) Prov. Nusa Tenggara Barat, Usman (38) mengungkapkan, “Sebelum Corona, pernah juga dari beberapa relawan yangg saya hubungi berencana turun untuk memberi bantuan. Tapi karena Corona ya tertunda. Semasa Corona pun anak-anak disini tetap pembelajaran tatap muka karena tidak memungkinkan jika pembelajaran jarak jauh. Tidak punya hape, guru-guru dan kepala sekolah juga tidak ada hape android”.

Dengan tidak sengaja, Usman mengenal juga dengan salah satu aktivis SGI yaitu Guru Rismi di SDIT Fatihul Hodi Botik, pun suami Guru Rismi merupakan temannya sewaktu SMA. Berdasarkan jaringan tersebut, cerita tentang keadaan sekolah yang memprihatinkan dimulai.

“Banyak murid namun tidak ada pengajar, bangunan dan fasilitasnya pun seperti ini. Akhirnya kami sempat tinjau langsung ke sekolah ini. Yang saya tahu, sebelum ditembok batako seperti ini, ya hanya menggunakan papan-papan triplek saja, segini agak mending,” aku Usman.

Ia juga kisahkan, ketika Dompet Dhuafa menawarkan bantuan renovasi untuk sekolah wilayah NTB di pedalaman, ada 5 nama calon sekolah yang Usman pikir layak mendapatkan bantuan. Namun hati Usman merekomendasikan SDIT Fatihul Hadi Botik yang layak mendapatkan bantuan tersebut karena kondisi sekolah namun anak-anak disini juga memiliki potensi.

“Guru-guru disini ikhlasnya juga luar biasa. Sepengetahuan saya mereka tidak digaji. Saya pun berpikir bagaimana bisa bertahan? Namun pak Jayadi bilang, Allah Maha Kaya, saya pribadi juga semakin semangat untuk memberi yang kami bisa untuk sekolah ini,” imbuhnya.

“Bahkan, para Guru juga ikut iuran semen ketika dapat jual sapi. Mudah-mudah bantuan ini terealisasi, maka pembelajaran akan lebih efektif, tidak ada lagi debu bertebaran di dalam kelas. Guru-guru juga akan lebih nyaman ketika menjelaskan materi,” tutup Usman optimis.

Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Menilik-Asa-Giat-Didik-Pedalaman–Bagian-Satu

Salah satu siswa kelas 6, Rizki Rizal Rahmadani (12), mengisahkan, “Rumah jauh di Tinggal di Batu Kliyang, Desa Mangkung. Kalau hujan tetap berangkat sekolah, kadang tidak pakai sepatu karena becek. Jalan tanah banyak genangan air, lewat sawah”.

Rizki sangat ingin menjadi pilot, sering melihat dalam tayangan di televisi, ungkapnya. Ibu dan Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan. Ia sekolah di SDIT Fatihul Hadi Botik karena tempatnya tidak dekat dengan jalan raya. Suka karena banyak teman.

“Saya suka pelajaran matematika dan seni budaya. Setiap hari mengaji juga habis solat maghrib hingga isya. Saya pengen sekolah ini bagus, jadi banyak orang nantinya bisa sekolah disini dan belajarnya giat,” ujar Rizki. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)