BOGOR, JAWA BARAT — Seorang siswa yang berusaha tekun belajar dan menuntut ilmu, ingin kelak saat sukses menghadiahkan ‘hasilnya’ kepada kedua orang tua. Kejutan-kejutan membanggakan seperti capaian nilai tertinggi, prestasi, hingga kepercayaan diri di tengah masyarakat menjadi kado indah bagi seorang ayah dan ibu. Sayangnya, bayangan semacam itu telah kandas pada diri Arwan Priyanto Pamungkas, siswa kelas 3 sekolah SMART Ekselensia Indonesia di Parung, Bogor.
“Setelah ayah meninggal, Mama sekaligus jadi sosok ayah gitu. Di pandangan aku, Mama itu ya kayak sosok wanita yang sangat kuat, powerful. Aku ingin buktiin ke Mama, ke orang-orang, bahwa tanpa sosok ayah, aku bisa sukses. Bisa angkat derajat keluarga. Angkat finansial keluarga,” ucap Arwan, Kamis (21/3/2024).
Tiga tahun berada di sekolah berasrama, ia merasa sangat betah dan justru senang karena banyak hal-hal positif yang ia dapatkan. Selain banyak disiplin ilmu yang dipelajari, nilai-nilai kognitif di luar jam pelajaran pun ia dapatkan sehari-hari.
“Saya banyak belajar di sini. Jadi lebih mandiri. Lebih percaya diri juga. Beda banget lah dari dulu,” sambungnya.
Baca juga: Chappy Hakim Tanamkan Karakter Kuat pada Siswa SMART Ekselensia Indonesia
Seperti siswa-siswa SMART Ekselensia lainnya, Arwan mendapat kesempatan pulang ke rumah sebanyak satu hingga dua kali dalam setahun. Untuk mengobati rasa rindu terhadap ibu, terkadang ibu Arwan lah yang mendatanginya ke sekolah. Bahkan, ini bisa dilakukan hampir sebulan sekali. Hal ini mungkin karena ternyata rumah Arwan tak berjarak jauh dari sekolah. Hanya sekitar 15 hingga 20 menit waktu tempuh menggunakan sepeda motor.
Selain jadi ajang melepas rindu, keduanya saling bercerita. Sang mama menceritakan tentang apa saja kejadian yang ada di rumah. Begitu pun Arwan, ia menceritakan suka dan duka selama sebulan terakhir di asrama dan sekolah. Mama selalu menanyakan apakah ada masalah di asrama maupun sekolah, dengan teman ataupun guru. Saat itulah, momen haru keduanya saling menuangkan isi curahan hati. Pertemuan mereka lantas ditutup dengan wejangan dan motivasi dari sang Mama kepada Arwan.
“Seringnya curhat masalah pelajaran,” lanjut Arwan dengan nada tawa tipis.
“Kan di sini akselerasi lima tahun. Jadi pelajarannya juga ngebut. Awalnya saya kaget aja. Tapi alhamdulillah, sekarang sudah bisa menyesuaikan,” lanjutnya.
Baca juga: Lahirkan Generasi Qur’ani, SMART Ekselensia Indonesia Dompet Dhuafa Gelar Khotmul Qur’an
Padatnya kegiatan belajar belum ditambah dengan kegiatan-kegiatan asrama yang mungkin dirasa lebih padat. Belum lagi masih ada target hafalan. Tentu jika bukan siswa-siswa pilihan dan kekuatan dukungan dari orang tua, mungkin sulit bagi anak biasa untuk bisa mengimbangi semua itu.
Menurut Arwan, saat ini yang sudah ia tunjukkan ke sang Mama adalah bahwa nilai akademiknya termasuk dalam golongan yang tertinggi di angkatan. Ini menjadi satu kebanggaan bagi sang Mama.
Kata Gusmiyati (49), Mama Arwan, hal lain yang berubah dari anak keduanya itu adalah pada kepercayaan dirinya. Hal itu dirasa saat Arwan pulang ke rumah. Ia lebih sering menjadi imam salat jemaah bersama keluarga, hingga memimpin bacaan doa dan Al-Qur’an. Selain itu, ia kini juga menjadi juru bicara keluarga untuk berkomunikasi kepada warga setempat. Kepercayaan dari warga sekitar pun muncul dengan dilibatkannya Arwan dalam kegiatan kemasyarakatan.
Terlahir sebagai anak kedua laki-laki setelah saudaranya yang juga masih di bangku kelas 3 SMA, menjadikan Arwan makin terdorong untuk tak ingin ke depannya membebani kakak laki-lakinya yang bertanggung jawab seorang diri sebagai kepala keluarga. Sedangkan adik perempuannya yang masih berusia lima tahun, rasanya sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari Mama dan sesosok ayah dari kakak-kakaknya.
Baca juga: Masuk SMART Ekselensia, Akmal: Ingat Bapak, Bahagiakan Emak, dan Jadi Pilot
Selain merawat si kecil dengan kasih sayang, Gusmiyati sehari-hari beraktivitas di rumah sebagai pembuat jajanan kue, seperti risol, pastel, dan sejenisnya. Tidak pernah ada pemasukan yang pasti dari hasilnya membuat kue. Pasalnya, ia memproduksi kue-kue itu hanya ketika ada pesanan yang masuk. Jika ada kelebihan produksi, ia menyimpannya di kotak penyimpanan beku untuk dijual sebagai versi frozen.
Biasanya, pada momen Bulan Ramadan seperti saat ini, Gusmiyati jualan kue untuk takjil di pinggir-pinggir jalan. Namun pada Ramadan 1445 H ini, karena posisi rumah kontrakannya cukup jauh dari jalan, sehingga ia tak lagi membuka lapak jualan untuk takjilan.
“Jika bukan di Bulan Ramadan, anak pertama saya yang biasanya bawa dagangan kue ke sekolahnya. Ini sudah dia lakukan setiap hari sejak pertama kali masuk sekolah SMA. Sejak habis pindah ke sini (kontrakan yang sekarang), belum lagi buka dagang sendiri. Biasanya ya saya bikin sesuai pesanan saja,” jelas Gusmiyati.
Dari penghasilan membuat kue, sudah tiga tahun ia menghidupi ketiga anaknya, pascawafatnya sang suami pada tahun 2021. Gusmiyati menyebut, sang suami dulu adalah pekerja karyawan. Hingga akhirnya ia terkena pengurangan pegawai. Setelah itu, belum ada lagi pekerjaan menghampiri, ditambah wabah pandemi datang menyerang, sehingga makin sulit mencari pekerjaan. Sedang Gusmiyati hanya di rumah menjadi ibu rumah tangga.
Baca juga: Ricky Harun Berbagi Inspirasi Lewat Profesi
Musibah datang makin bertambah, suami Gusmiyati mengidap penyakit diabetes hingga akhirnya meninggal tepat sebulan setelah Arwan mulai menjadi siswa SMART Ekselensia.
Tentu Gusmiyati merasa sangat terpukul saat itu. Di masa sulit pandemi, tidak ada kerjaan yang buka lowongan, semua orang diimbau untuk berdiam di rumah, sedang anak pertamanya sedang tinggi-tingginya membutuhkan biaya pertama masuk SMA. Di samping itu, anak terakhirnya yang masih dua tahun juga sedang butuh banyak perhatian dari sang ibu.
“Awalnya mah nggak bisa bikin apa-apa. Kemudian ya terpaksa cari tahu cara bikin kue, lihat-lihat di Google caranya. Ini mungkin yang bisa saya lakukan di rumah sambil ngurus anak-anak. Akhirnya saya pilih makanan kue ini,” kisahnya.
Ada satu hal yang sangat ia syukuri, yaitu anak tengahnya, Arwan masuk menjadi siswa SMART EI.
“Alhamdulillah kebantu banget sama anak saya yang kedua ini bisa masuk SMART EI. Kalau nggak, enggak tahu deh harus dari mana uangnya untuk masukin ke sekolah. Saya bangga sama Arwan. Sekolah jauh dari orang tua dan ada hasil yang membanggakan. Dari segi nilai laporan sekolah juga bagus-bagus. Kalau pulang ke rumah, kepercayaan dirinya juga meningkat. Tidak minderan kayak dulu,” terangnya.
Arwan mengaku, bidang pelajaran yang selalu mendapat penilaian tinggi selama di SMART EI adalah bahasa. Baik itu bahasa Indonesia maupun Arab. Di samping itu, pelajaran yang mendapatkan nilai tinggi setelahnya adalah Ilmu Pengetahuan Sosial. Ini mungkin selaras dengan kecakapannya dalam bersosialisasi kepada orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan hobi yang disukai adalah bermain futsal. Kemudian untuk kegiatan asrama, ia mengaku paling menyukai kegiatan ngaji dan kajian kitab. Ia merasa khidmat hingga mampu duduk lama pada kegiatan tersebut. Cita-citanya yang berkeinginan menjadi dokter mungkin tak selaras dengan kecakapannya di bidang pelajaran saat ini. Namun ia yakin, kelak akan mampu mewujudkan itu.
“Beasiswa itu yang paling membuat saya merasa terbantu. Ya Allah saya tidak kebayang itu biaya sekolah swasta sebagus itu. Arwan belajar pelajaran sekolah seperti umumnya, di SMART ini juga ada pelajaran agamanya yang kuat dan juga nilai-nilai etika dan sosial. Yang penting anak-anak sukses bahagia, bisa mengangkat derajat keluarga. Saya paling cuma bisa berdoa saja,” ucap Gusmiyati.
Selanjutnya, Arwan memiliki cita-cita menghadiahkan Mama dengan hafalan 30 juz. Itu juga yang jadi harapan Mama ke Arwan. Setiap pulang atau kunjungan, Mama selalu menyemangati Arwan untuk menjaga dan menambah hafalan Al-Qur’an. Karena itu bisa menjadi bekal kuat untuk kehidupan seterusnya.
“Yang masih menjadi cita-cita untuk aku hadiahkan ke Mama adalah hafalan 30 juz,” ungkap Arwan.
SMART Ekselensia Indonesia bagi Arwan adalah sebuah wadah yang melindunginya dari buruk negatifnya lingkungan luar. Ia mengaku sangat bersyukur bisa masuk sekolah gratis berbasis wakaf produktif yang dibangun Dompet Dhuafa ini. (Dompet Dhuafa)
Teks dan Foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo