Dai Ambassador Berdakwah dengan Bukber dan Fenomena Nonmuslim yang Nyaman Ikut Bukber di Jepang

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang

JEPANG — Buka puasa bersama atau bukber sudah menjadi tradisi tersendiri di Indonesia setiap bulan Ramadan tiba. Namun rupanya hal ini juga terasa di Jepang. Bahkan, bukan hanya muslim saja yang menjalankan bukber, tetapi orang-orang nonmuslim juga meriah merayakannya dan turut merasakan kebahagiaan Ramadan. Fenomena ini dialami dan dirasakan langsung oleh Ustaz Cecep Sobar Rochmat, Dai Ambassador Dompet Dhuafa 2024 penugasan Jepang.

Apabila melihat peristiwa ini, tak salah apa yang dikatakan Rasulullah Saw dalam satu sabdanya bahwa “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, pertama ketika ia berbuka, dan kedua kebahagiaan ketika nanti bertemu dengan Tuhannya”. Ternyata kebahagiaan buka puasa bersama juga dirasakan oleh beberapa masyarakat nonmuslim yang notabene mereka mempunyai kepercayaan budaya Shinto, sehingga tidak berafiliasi kepada salah satu agama Ibrahimic.

Bagi mereka bukber adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan, begitu ungkapan salah seorang mahasiswi asal Jepang yang mengikuti kegiatan ini. Sementara itu, bukber bagi para dai adalah salah satu metode dan strategi dakwah dengan pendekatan hikmah.

Baca juga: Jumat Terakhir di Korsel, Jemaah Ajak Dai Ambassador Kulineran, Coba Haemul Jjamppong yang Nikmat!

“Fenomena ini ternyata tak hanya terjadi di kota besar seperti Tokyo, tetapi juga terjadi di beberapa kota yang pernah saya kunjungi, seperti di Kota Chiba, Gifu, Osaka, dan Nagoya,” ungkap Ustaz Cecep.

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang
Tradisi buka puasa bersama di Jepang.

Di Nagoya, di mana Ustaz Cecep bertugas sehari-hari sebagai imam, khatib, dan pengisi kajian selama bulan Ramadan 1445 H, ada fenomena yang lebih unik lagi. Yakni ada seorang nonmuslim berkeyakinan Shinto bernama Yasuo Takagi. Ia adalah seorang karyawan yang bekerja di sebuah sekolah di Nagoya. Yasuo tak hanya senang mengikuti bukber, tetapi ia juga kerap kali mengikuti salat Magrib, Isya, dan Tarawih secara berjemaah dengan jemaah muslim lainnya di Masjid Indonesia Nagoya. Bahkan, Yasuo juga sangat serius mengikuti kajian-kajian Islam.

“Beberapa kali saya berdialog dengannya, meskipun ia belum bersyahadat. Namun ternyata ia mengakui bahwa merasakan ketenangan dan ketentraman ketika ikut ritual ibadah salat. Ia tidak merasa bosan dengan bacaan Al-Qur’an yang dikumandangkan imam sebanyak setengah juz setiap malam,” ungkap Ustaz Cecep.

“Senyum selalu terpancar di wajahnya sebagai manifestasi rasa gembira yang ia rasakan. Saya melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya setiap merampungkan salat Witir dan mendengarkan kultum. Itulah mungkin bukti bahwa sebetulnya zikir itu menenangkan. Saya berasumsi, mungkin ia menganggap ritual salat ini sebagaimana tradisi yoga atau meditasi dalam agama Buddha, di mana banyak orang yang mengikutinya dengan bayaran yang mahal demi sebuah ketenangan. Tetapi di sisi lain, saya sangat meyakini ini adalah sebuah proses menuju hidayah Allah yang akan datang di kemudian hari,” lanjutnya.

Baca juga: Dai Ambassador 2024: Negeri Seribu Gereja Jadi Tempat Nyaman Bagi Muslim Menjalankan Ramadan

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang

Di tengah kota metropolitan seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya, interaksi antarwarga hanya berlandaskan profesionalisme pekerjaan. Individualisme adalah akar budaya peradaban negara ini, di mana antara satu dengan yang lainnya sudah tidak ada rasa peduli dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sebenarnya ideologi ini secara tidak langhsung telah menggerus sisi kemanusiaan mereka, di mana manusia adalah mahluk yangb tidak bisa hidup sendirian karena manusia adalah mahluk sosial.

Di sini lah seorang Yasuo ketika mengikuti kegiatan bukber dan ritual ibadah salat, ia menemukan bahwa di antara masyarakat muslim interaksi sosial menjadi hal yang sangat penting dan membahagiakan. Saling tegur sapa meski baru berkenalan, saling tolong-menolong dalam gotong-royong, ibu-ibu bersama-sama memasak dan menyiapkan menu takjil. Anak muda ramai-ramai membersihkan tempat untuk salat dan bukber. Saat di antara mereka saling melempar candaan, keakraban seperti keluarga pun terasa.

Hal-hal seperti inilah yang tak ditemukan Yasuo di masyarakat Jepang yang notabene nafsi-nafsi (individualis). Bahkan di antara tetangga bisa jadi tidak saling mengenal, tidak ada tradisi saling berkunjung ke rumah, dan menginap di rumah orang lain adalah sesuatu yang sulit untuk ditemui. Sebab, rumah adalah privasi. Apabila ingin mengadakan pertemuan dengan keluarga yang lain, mereka lebih senang melaksanakannya di luar rumah.

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang

Baca juga: Mujahadah Lailatulqadar, WNI dan Diaspora Indonesia di Kaledonia Baru Gelar Salat Tasbih Bersama Dai Ambassador

Dalam tradisi Jepang, saat seorang anak sudah berumur 20 tahun, ia sudah harus mandiri. Bahkan terkadang, diadakan pula pesta ‘lepas lajang’ dan otomatis orang tua sudah tidak memiliki hak lagi untuk melarang anaknya. Mereka yang berusia 20 tahun ke atas sudah boleh minum-minuman keras hingga berhubungan badan. Bahkan mirisnya, anak tersebut juga sudah tidak lagi peduli dengan orang tuanya. Keadaan tersebut sangat jauh berbeda dengan peradaban keluarga muslim, di mana kita diwajibkan untuk selalu berbakti kepada orang tua. Baik dalam doa maupun dalam pergaulan sehari-hari, di mana surga ada di bawah telapak kaki ibu.

Rasulullah berkata, “Rida-Nya ada pada rida orang tua”. Sementara dalam hadis lain Sang Nabi berkata, “Doanya orang tua kepada anaknya adalah seperti doa seorang nabi kepada umatnya”. Sehingga interaksi antara orang tua dan anak bukan hanya hubungan di dunia saja, tetapi juga menentukan nasib keduanya nanti di alam yang lebih abadi, yaitu akhirat.

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang

Apabila orang tua bisa mendidik anak dengan baik dan anak bisa berbakti kepada orang tua, maka tempat keduanya adalah surga. Namun apabila sebaliknya, maka tempat kembali mereka adalah neraka. Nilai inilah yang tidak ada dalam kamus blue print otak dan keyakinan sebagian besar manusia di negara maju, termasuk Jepang. Di satu sisi seorang turis yang baru pertama kali ke Jepang akan merasakan takjub saat melihat Jepang dari sisi dhahir. Negara ini akan tampak sebagai negara yang disiplin, warganya taat aturan, bersih, memiliki tata kota dan transportasi umum yang unggul.

Namun ada banyak hal belum mereka ketahui, seperti bagaimana orang Jepang krisis spiritual, hati mereka sangatlah kering, sangat memerlukan siraman rohani dan sentuhan batin. Mereka hanya memperhatikan aspek fisik saja, tetapi tidak memperhatikan aspek batin dan psikis. Tujuan hidup mereka hanya bekerja dan bekerja.

Hal ini juga berdampak kepada dunia pendidikan yang notabene di universitas lebih mengedepankan fakultas sains dan teknik, jarang sekali universitas yang mempunyai fakultas dalam bidang sosial humaniora. Sehingga orang di sini kerap kali mendapatkan tekanan hidup yang sangat berat, baik dalam pekerjaan maupun keluarga dan kolega. Sehingga ketika mendapat masalah batin dan psikis, mereka tidak memiliki tempat untuk mengadu dan secara mental hancur. Mereka tidak siap dengan keadaan yang tidak sesuai dengan ekspektasi, sehingga banyak sekali yang bunuh diri.

Baca juga: Dai Ambassador Takjub dengan Kuatnya Ukhuwah Islamiyah di Antara Muslim Korea Selatan

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang
Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Jepang, Ustaz Cecep bersama pemuda Jepang, Yasuo.

“Saya kerap kali mendengar banyak cerita tentang orang-orang yang akhirnya menabrakkan diri ke kereta. Ada pula yang meminum racun atau bahkan terjun dari gedung tinggi,”

Simpulannya, ladang dakwah untuk masyarakat Jepang yang notebene sangatlah membutuhkan siraman rohani dan kekeringan dalam aspek spiritual masih sangatlah luas. Semoga Allah Swt memberikan banyak hidayah di negeri yang secara hukum dan peraturan sudah sangat baik ini. Hal yang kurang dari mereka hanya satu, yaitu syahadat. Wallahu a’lam.

Ustaz Cecep Sobar Rochmat, Dai Ambassador Dompet Dhuafa Jepang 2024